Fenomena Pengemis di Kota Besar
Pada suatu diskusi milist
Bisnis & Karir di Sabtu sore ini, disuguhkan sebuah artikel online tentang fenomena pengemis.
Bukan fenomena jumlah pengemis yang semakin banyak, yang mungkin saja dikaitkan
dengan kenaikan BBM. Hal menarik yang didiskusikan adalah tentang jumlah penghasilan
pengemis di Jakarta, yang ternyata lebih besar dari gaji manajer.
Dengan muka memelas mereka
menyusuri jalan-jalan Jakarta yang berdebu. Menadahkan tangan meminta sedekah.
Sebagian tampil dengan anggota tubuh tak lengkap, sebagian lagi membawa bayi
mungil yang dekil dalam gendongan. Penampilan para pengemis itu mengundang iba.
Selembar seribu atau dua ribuan dengan ikhlas direlakan para dermawan untuk
mereka.
Benarkah para pengemis yang
setiap hari lalu lalang itu hidup menderita?
Ternyata tidak semua. Petugas
Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan menemukan fakta mengejutkan. Dalam sehari,
pengemis di Jakarta bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 750 ribu hingga Rp
1 juta. "Kalau yang segitu biasanya didapat pengemis dengan tingkat kekasihanan
yang sangat-sangat kasihan. Seperti pengemis kakek-kakek atau ibu-ibu yang
mengemis dengan membawa anaknya," ujar Kepala Seksi Rehabilitasi Suku
Dinas Sosial Jakarta Selatan, Miftahul Huda saat ditemui di kantornya.
Kemudian, lanjutnya, untuk pengemis dengan tingkat kasihan yang standar atau
biasa saja dalam sehari bisa mendapatkan sekitar Rp 450 ribu hingga Rp 500
ribu. "Itu seperti anak-anak jalanan yang saat mengemis mengandalkan muka
memelas," tuturnya. Satu hari Rp 1 juta, kalikan 30 hari.
Pengemis ini bisa dapat Rp 30
juta per bulan. Bermodal perkusi dari tutup botol, anak-anak jalanan
mengantongi Rp 12 juta lebih. Maka silakan bandingkan dengan gaji manajer di
Jakarta. Gaji manajer di Jakarta rata-rata berkisar Rp 12 hingga 20 jutaan.
Gaji pemimpin cabang sebuah bank rata-rata Rp 16 juta. Sementara Kepala Divisi
Rp 20 juta. Rata-rata butuh waktu sekitar tujuh tahun bagi seorang profesional
mencapai level manajer. Tak mudah mencapai posisi itu.
Untuk fresh graduate atau
sarjana yang baru lulus dan tak punya pengalaman kerja. Kisaran gajinya Rp 2
juta hingga Rp 3,5 juta. Jika beruntung, ada perusahaan yang mau memberi hingga
di atas Rp 4 juta. Tapi sangat jarang. "Saya kerja jadi teller di bank.
Sudah lima tahun, paling bawa pulang Rp 4 juta. Kaget juga dengar pengemis bisa
dapet belasan sampai Rp 30 juta," kata Rani, salah seorang pegawai bank
pemerintah.
Luar biasa memang. Gaji seorang
manajer kalah oleh pengemis. Teller bank yang selalu tampil cantik dan modis,
gajinya hanya sepertiga anak jalanan yang bermodal tampang memelas.
"Karena pendapatan yang terbilang fantastis itulah, para pengemis enggan beralih
profesi. Cukup bermodal tampang memelas, tanpa skill apapun mereka bisa dapat
uang banyak dengan mudah," kata Miftahul Huda.
Dia menambahkan maraknya
pengemis dan gelandangan yang tersebar di Ibukota disinyalir sudah teroganisir.
Diduga ada sindikat yang mengatur kelompok pengemis yang kerap mendrop mereka
di suatu tempat untuk kemudian di wilayah yang telah ditentukan. "Kita pernah
menelusuri ke kampung halamannya. Dan memang nyatanya mereka punya rumah yang
bisa dibilang lebih dari cukuplah di kampungnya itu. Itu fakta yang kita
dapatkan," jelas Miftahul. Untuk itu, Miftahul mengimbau kepada masyarakat
yang ingin memberikan sumbangan menyalurkan ke tempat yang tepat. "Dengan
menyalurkan ke badan zakat yang resmi, akan disalurkan ke yang berhak menerimanya.
Dan secara otomatis ini mengurangi pengemis, karena tidak ada yang mau memberi
di jalan," tandasnya.
Sumber artikel: Merdeka.com
AA Hakim mengawali dengan
memberikan respon mengenai kemungkinan sindikat yang berperan sebagai organizer
para pengemis. “Kami memang tidak punya data otentik tentang kasus ini, tapi
hal itu sangat memungkinkan. Mereka para gembel pengemis (gepeng) tersebut
adalah para karyawan dari pengusaha gepeng. Mengemis adalah pekerjaan dan ini
dijadikan peluang usaha oleh organizernya. Jika data tersebut valid, ironis
sekali dengan pendapatan yg diperoleh oleh para manajer Indonesia, tapi itulah
mungkin sebuah realita dari sosialita hidup. Sebuah kemalasan yang bisa
mengeruk keuntungan besar di balik kemurahhatian penduduk kita. “
Analisis lain disampaikan oleh
Francis dengan membandingkan kebiasaan pengemis dengan irisan kesamaan pola yang
terjadi di sebagian aktivis mahasiswa dalam mencari dana. “Memang kenyataan
demikian, bahwa benar pengemis lebih banyak duit, ironis nya ini diajarkan
kepada mahasiswa dan mahasiswi bagaimana caranya mengemis... bukti : Pengemis
meminta uang di lampu merah, dan lihatlah pelajar dan mahasiswa meminta bantuan
di lampu merah juga. Hal yang jadi pertanyaan adalah bedanya apa pengemis dan
aksi sosial mahasiswa... sama2 minta sumbangan di perempatan lampu merah. cuma
beda seragam saja... bayangkan mahasiswa diajarkan cara mengemis, wajar saja di
Indonesia banyak koruptor dan tingkat kemiskinan tinggi.”
Hal yang menarik adalah, pola
kebiasaan mengemis juga terjadi ketika negara Amerika Serikat (AS) diliputi krisis
keuangan di tahun 2008 yang lalu, dimana di kota-kota besar AS bermunculan
pengemis-pengemis jalanan dalam jumlah yang kentara. Gejala itu tidak semata
menyangkut ekonomi, tapi juga sosial dan hukum. Sebagai negara adidaya, AS
tentu saja mampu melakukan pembenahan akan hal itu. Tentu saja hal ini tidak
untuk dibandingkan dengan negara kita yang masih serba kekurangan.
Namun pelajaran penting bisa
dipetik adalah bagaimana lembaga-lembaga negara di AS saling bersinergi
melakukan pembenahan masalah sosial akut itu, disamping orang-orang kaya di AS sangat
membantu. Sebagai contoh kecil, polisi mengatur pengemis-pengemis serta titik-titik
lokasi dimana para pengemis dibolehkan mengemis di jalanan agar tidak timbul
kesemrawutan.
Seorang peserta diskusi dengan
inisial MS menyebutkan data bahwa pengemis tersebut sangat santun, terkadang
perlente, dan ada di antara mereka datang ke lokasi pakai mobil pribadi yang
boleh dikata cukup mewah untuk ukuran kita di Indonesia. Tapi kalau sudah dapat
pekerjaan (dibantu oleh lembaga sosial kenegaraan) mereka tidak di jalanan
mengemis lagi. Mengemis memang sebuah keterpaksaan dan hal itu sangat
memalukan. Tetapi tak kurang pula orang-orang kaya di AS banyak mengulurkan
tangan baik langsung maupun tak langsung.
Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
moralitas rakyat dan pejabat negara serta keberfungsian lembaga-lembaga
kenegaraan, merupakan faktor yang sangat menentukan dalam penanganan kasus
pengemis itu. Dari segi kepatutan pun, mengemis memang jelas tidak patut. Hal
ini terjadi karena kelemahan kita semua sebagai bangsa.
Sebenarnya Perda (di Ibu kota Jakarta)
tentang pengemis sudah ada, bahkan yang memberikan uang kepada pengemis dapat
dijerat dengan perda tersebut, bahkan beberapa perempatan sudah dibuat papan
pengumuman larangan memberi kepada pengemis. Tapi, kalau cuma buat peraturan untuk
larangan pengemis sih sebenarnya tidak perlu DPRD/Pemerintah, cukup merenung di
kamar, aturan sudah jadi. Namun permasalahannya bukan sekedar pada aturan, tetapi
pada penegakkan aturan.
Logika matematis tentang besarnya
penghasilan pengemis sudah tepat. Fakta pun menunjukkan, penghasilan pengemis itu
menjadi besar karena banyak yang memberi, seandainya tidak ada yang memberi,
pastinya penghasilan pengemis menjadi kecil. Cuma kita sebagai masyarakat agak
susah jika dilarang memberi kepada pengemis, rasa kemanusiaan dan kemurahan
hati kita tertantang setiap kali kita didatangi pengemis. Kecuali bagi orang yang
hatinya sudah dingin membeku, tentu akan gampang menolak pengemis atau cuek dengan
mereka.
Sebenarnya dengan melihat penghasilan pengemis itu besar, ada juga perasaan bersyukur, karena artinya hati masyarakat Indonesia
masih penuh dengan kemurahan. Jika hati masyarakat indonesia sudah dingin, tidak
suka memberi, maka tanpa disuruh, tanpa dibuat peraturan, maka pengemis dan
polisi cepek juga dapat sirna dengan sendirinya.
Salah seorang peserta, Edi
Limbong, menutup dengan suatu kesimpulan berani, “Saya yakin pemerintah
bukannya tidak bisa mengatasi pengemis, tapi tidak mau.”
Sementara di akhir komentar, AA
Hakim memberikan pertanyaan yang retoris dan menggelitik, tapi juga mengusik, “Apakah
anda tertarik jadi pengusaha Gepeng?” Hmm...
Nah, bagaimana dengan Anda? Saat
berhadapan dengan pengemis, bagaimana sikap Anda? :)
Posting Komentar untuk "Fenomena Pengemis di Kota Besar"