Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Anda Bos di Perusahaan? Coba Pahami Lingkungan Kerja Karyawan Anda

Pekerja akan merasa sangat nyaman bila berada di lingkungan kerja yang yang positif. Sesama pekerja akan saling mempengaruhi satu sama lainnya, karena itu hubungan kerja antara atasan dengan bawahan perlu diciptakan sedemikian rupa agar lingkungan kerja menjadi lingkungan yang positif.

Lingkungan kerja adalah tempat di mana pegawai melakukan aktivitas setiap harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan memungkinkan pegawai untuk dapat bekerja optimal. Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosional pegawai. Jika pegawai menyenangi lingkungan kerja di mana dia bekerja, maka pegawai tersebut akan betah di tempat kerjanya, melakukan aktivitasnya sehingga waktu kerja dipergunakan secara efektif. Produktivitas akan tinggi dan otomatis prestasi kerja pegawai juga tinggi. Lingkungan kerja itu mencakup hubungan kerja antara bawahan dan atasan serta lingkungan fisik tempat pegawai bekerja.



Sihombing (2004) menyatakan bahwa :

” Lingkungan Kerja adalah faktor-faktor di luar manusia baik fisik maupun non fisik dalam suatu organisasi. Faktor fisik ini mencakup peralatan kerja, suhu tempat kerja, kesesakan dan kepadatan, kebisingan, luas ruang kerja sedangkan non fisik mencakup hubungan kerja yang terbentuk di instansi antara atasan dan bawahan serta antara sesama karyawan”.

Lingkungan kerja yang mendukung produktivitas kerja akan menimbulkan kepuasan kerja bagi pekerja dalam suatu organisasi. “Indikator lingkungan kerja adalah (1) fasilitas kerja, (2) gaji dan tunjangan, (3) hubungan kerja” (Sihombing, 2004). Motivasi kerja pegawai akan terdorong dari lingkungan kerja. Jika lingkungan kerja mendukung maka akan timbul keinginan pegawai untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Keinginan ini kemudian akan menimbulkan persepsi pegawai dan kreativitas pegawai yang diwujudkan dalam bentuk tindakan. Persepsi pegawai juga dipengaruhi oleh faktor insentif yang diberikan oleh instansi.

Manfaat Lingkungan Kerja

Manfaat lingkungan kerja adalah menciptakan gairah kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang ditentukan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat juangnya akan tinggi (Arep, 2003).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja

Setiap orang memerlukan 5 (lima) kebutuhan yang telah dikemukakan oleh Maslow sebagaimana diuraikan di atas sebagai sumber lingkungan kerja dalam rangka meningkatkan semangat kerjanya. Namun yang paling penting bagi seseorang adalah lingkungan kerjanya, dimulai dari dalam dirinya sendiri sesuai dengan pendapat Terry dalam Hasibuan (2001) bahwa Lingkungan kerja yang paling berhasil pengarahan diri sendiri oleh pekerja yang bersangkutan.

Lingkungan kerja adalah kekuatan yang mendorong semangat yang ada di dalam maupun di luar dirinya baik itu yang berupa reward maupun punishment sehingga Herberg dalam Luthans (2003) menyatakan bahwa pada manusia terdapat enam faktor pemuas. 

  1. Prestasi kerja yang diraih (achievement). 
  2. Pengakuan orang lain (recognition). 
  3. Tanggung jawab (responsibility). 
  4. Peluang untuk maju (advancement). 
  5. Kepuasan kerja itu sendiri (the work itself). 
  6. dan Pengembangan karir (the possibility of growth). 

Sedangkan faktor pemeliharaan (maintenance factor). Yang disebut dengan disatisfier atau extrinsic lingkungan kerja yang meliputi: 

  1. Kondisi Kerja; 
  2. Keamanan dan keselamatan kerja; 
  3. Kondisi kerja; 
  4. Status; 
  5. Prosedur perusahaan; 
  6. Mutu dari supervise teknis dari hubungan antara teman sejawat, atasan, dan bawahan.

Teori tentang Budaya Organisasi

Budaya merupakan nilai-nilai dan kebiasaan yang diterima sebagai acuan bersama yang diikuti dan dihormati di dalam suatu organisasi. Kebiasaan ini menjadi budaya kerja sumber daya manusia di dalam organisasi dan sering dinamakan sebagai budaya organisasi. Budaya organisasi (organizational culture) akhir-akhir ini sering muncul kepermukaan dan menjadi bahan pembicaraan dan kajian, baik di kalangan praktisi maupun ilmuwan. 

Banyak diskusi dan seminar diadakan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan budaya organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi itu dirasakan penting dan memiliki manfaat langsung maupun tidak langsung bagi perkembangan organisasi. Budaya organisasi telah banyak didefinisikan oleh para ahli organisasi dan manajemen antara lain sebagai berikut: 

Organisasi adalah kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Organisasi adalah kerja sama dua orang atau lebih, suatu sistem dari aktivitas-aktivitas atau kekuatan-kekuatan perorangan yang dikoordinasikan secara sadar. 

Organisasi adalah pengaturan personil guna memudahkan pencapaian beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan tanggung jawab. Budaya organisasi dinyatakan beberapa ahli, antara lain sebagai berikut: 

Budaya Organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas.

Robbin (2002) memberikan rumusan tentang pengertian budaya organisasi adalah: nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi, yang dapat menggambarkan tentang cara-cara melakukan suatu pekerjaan di tempat tertentu serta asumsi kepercayaan dasar yang terdapat diantara anggota organisasi. Budaya organisasi adalah suatu sistem pengertian yang diterima bersama, yang mengaplikasikan adanya dimensi dan karakteristik tertentu yang berhubungan secara erat dan interdependen.


Berdasarkan definisi di atas terkandung unsur-unsur dalam budaya organisasi sebagai berikut :

1. Asumsi dasar

Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi yang berperilaku.

2. Keyakinan yang dianut

Dalam budaya organisasi terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi. Keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar, tujuan utama organisasi/perusahaan, filosofi usaha, atau prinsip-prinsip menjelaskan usaha.

3. Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi.

Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin organisasi/perusahaan atau kelompok tertentu dalam organisasi atau perusahaan tersebut.

4. Pedoman mengatasi masalah

Dalam organisasi/perusahaan, terdapat dua masalah pokok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi.

5. Berbagi nilai (sharing value)

Dalam budaya organisasi perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.

6. Pewarisan (learing process)

Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam organisasi/perusahaan tersebut.

7. Penyesuaian (adaptasi)

Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi organisasi/ perusahaan terhadap perubahan lingkungan.


Pengertian Budaya Organisasi

Schein dari MIT, dalam Amstrong (1998) menyatakan bahwa : ” Budaya perusahaan sebagai pola asumsi dasar yang ditemukan oleh kelompok tertentu, ditemukan atau dikembangkan untuk mempelajari cara mengatasi masalah-masalah adaptasi dari luar dan cara berintegrasi, yang telah berfungsi dengan baik atau dianggap berlaku, dan karena itu harus diajarkan kepada para anggota baru sebagai yang benar untuk mengundang, memikirkan, dan merumuskan masalah-masalah ini “.

Selanjutnya Robbins (2002) menyatakan bahwa : ” Budaya organisasi (organization culture) sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggotaanggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain “. Lebih lanjut, Robbins (1998) menyatakan bahwa : ” Sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus Menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama.

merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai organisasi (a system of shared Meaning held by members that distinguishes the organization from other organization. This system of shared meaning is, oncloser examination, a set of key characteristics that the orgnization values “).

Memahami budaya organisasi: Budaya organisasi adalah norma-norma dan kebiasaan yang diterima sebagai suatu kebenaran oleh semua orang dalam organisasi. Budaya organisasi menjadi acuan bersama diantara manusia dalam melakukan interaksi dan organisasi. Pendapat lain dikemukakan Susanto (2007) yang menyatakan bahwa :

” Budaya organisasi adalah sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertindak dan berperilaku “.

Kotter dan Hesket dalam Soetjipto (2007) berpendapat bahwa budaya organisasi pada dasarnya merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di dalam organisasi, contohnya: kesigapan dalam memberikan pelayanan kepada para pelanggan, sedangkan nilai mencerminkan keyakinan atau kepercayaan mereka akan hal-hal tertentu yang mampu mendatangkan kesuksesan, contohnya: perhatian yang besar kepada kepuasan pelanggan. Jika keduanya dibandingkan, norma relatif lebih kasat mata dan lebih mudah untuk dirubah. 

Sedangkan Hofstede et al. (1993) menyatakan bahwa Budaya organisasi sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan (unobservable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam, pola perilaku, peraturan, bahasa, dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Sementara pada level (unabsorvable), budaya organisasi mencakup shared value, norma-norma, kepercayaan, asumsi-asumsi para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan sekitarnya.

Perusahaan yang berorientasi pada kepentingan pasar memerlukan budaya dukungan (support culture) dan budaya prestasi (achievement culture) sebagai cara meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan. Budaya organisasi yang efektif adalah budaya organisasi yang mengakar kuat dan dalam. Di perusahaan yang berbudaya demikian, hampir semua individunya menganut nilai-nilai yang seragam dan konsisten. 

Setiap organisasi atau bahkan setiap bagian dalam suatu organisasi menunjukkan symbol dan ritual yang berbeda karena di dalamnya terdiri dari berbagai individu dengan latar belakang dan pengalaman yang beragam. Namun demikian budaya organisasi memiliki sejumlah disemsi yang berguna untuk memudahkan setiap upaya pengidentifikasian karakteristik budaya tertentu dalam organisasi. Hofstede (1993) menyatakan bahwa ada 6 (enam) dimensi budaya organisasi yang dapat ditemukan pada berbagai organisasi, yaitu :

a. Process-oriented versus resuls-oriented

Organisasi dengan budaya berorientasi pada proses ditandai dengan karyawan yang bekerja di dalamnya cenderung memperhatikan pada proses kegiatan dan bukan pada pencapaian hasil, menghindari resiko, tidak berusaha dengan keras, dan berpendapat bahwa setiap hari esok yang akan dialaminya bermakna sama dengan hari-hari sebelumnya tanpa perubahan tantangan. Sebaliknya pada budaya organisasi yang berorintasi pada hasil, karyawan cenderung memusatkan perhatiannya pada pencapaian hasil terlepas dari proses atau kegiatan yang dilakukannya, merasa nyaman dengan situasi yang berbeda atau menantang, selalu berusaha secara maksimal, dan menganggap bahwa datangnya hari esok akan membawa tantangan tersendiri yang berbeda dengan hari-hari atau waktu sebelumnya. Dengan konteks yang demikian ini, budaya organisasi dengan orientasi orientasi pada hasil merupakan strong culture atau budaya yang positif.

b. Employee-oriented versus job-oriented

Dalam organisasi yang berorientasi pada employee, karyawan merasa bahwa masalah-masalah personel mereka pada dasarnya adalah masalah organisasi juga, pimpinan harus bertanggung jawab dalam mengatasi masalah kesejahteraan individu dan keluarganya, sementara dalam pengambilan keputusan organisasi cenderung melibatkan banyak pihak atau komunal. Sebaliknya dalam organisasi yang berorientasi pada job, karyawan merasakan adanya tekanan yang kuat untuk menyelesaikan semua pekerjaan, sementara proses pengambilan keputusan dilakukan secara invidual.

c. Parochial versus professional

Pengenalan terhadap organisasi yang berbudaya parochial dapat ditentukan melalui perasaan karyawan dalam hal ikut memiliki organisasi (employee’s belonging to the organization). Sementara dalam organisasi berbudaya profesional, faktor profesionalisme karyawan merupakan penentu utama sebagai identitas organisasi. Perbedaan utama dari karyawan yang parochial dan karyawan yang profesional dapat diketahui dari jawaban yang diberikan atas pertanyaan tentang “apa yang anda kerjakan?”. Seorang karyawan parochial akan menjawab: “saya bekerja untuk perusahaan X”. sementara karyawan profesional akan menjawab: “saya adalah seorang insinyur”.

d. Open system versus closed system

Karyawan dalam organisasi dengan sistem terbuka merasa bahwa organisasi dan semua karyawannya bersikap terbuka dan mau menerima terhadap hadirnya pendatang/pegawai baru dan pihak-pihak eksternal lainnya, semua pihak merasa ada kesesuaian dengan nilai-nilai organisasi, serta karyawan baru tidak memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan organisasi. Dalam organisasi dengan budaya sistem tertutup, interaksi antara karyawan cenderung tertutup dan rahasia, hanya orang-orang atau pihak tertentu yang merasa cocok atau sesuai dengan nilai-nilai organisasi, sementara bagi karyawan baru membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan organisasi.

e. Tight control versus loose control

Pengendalian yang ketat ditunjukkan dengan adanya kesadaran setiap individu terhadap pentingnya makna efisiensi (cost-conscious), cenderung tepat waktu dalam pekerjaan dan penyelesaiannya dan karyawan bersikap serius tentang organisasi dan pekerjaannya. Adapun dalam organisasi yang berbudaya pengendalian longgar menunjukkan tidak adanya pihak yang menyadari makna pentingnya tentang biaya (cost), bekerja tidak sesuai dengan jadwal penyelesaian, dan banyak menggelar jokes tentang organisasi dan pekerjaannya.

f. Pragmatic versus normative emphasis towards clients

Organisasi dengan budaya pragmatis memiliki ciri khusus yaitu terdapat penekanan utama pada pemenuhan kebutuhan pelanggan di mana hasil yang dicapai merupakan pertimbangan yang lebih penting daripada sekedar suatu pelaksanaan prosedur yang benar. Organisasi seperti ini juga bersifat fleksibel dalam menyikapi etika dalam bisnis. 

Sebaliknya organisasi dengan budaya normatif di dalamnya terdapat upaya keras untuk mematuhi prosedur dengan benar dan menganggapnya lebih penting daripada pencapaian hasil, sementara terhadap etika organisasi memiliki standar tinggi yang dipakai sebagai acuan. Dimensi keenam dalam budaya organisasi ini utamanya berkaitan dengan topik terkini dalam bisnis yaitu tentang orientasi perusahaan pada pelanggan. Perusahaan yang berbeda pada tekanan kompetensi yang ketat cenderung berbudaya pragmatis, sebaliknya organisasi yang bersifat monopolistis di mana tidak terdapat persaingan dalam bisnis cenderung bersifat normatif.


Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, budaya organisasi dapat dikatakan sebagai aturan main yang ada di dalam perusahaan yang akan menjadi pegangan dari sumber daya manusia dalam menjalankan kewajibannya dan nilai-nilai untuk berperilaku dalam organisasi. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam perilaku dan sikap mereka sehari-hari selama mereka berada dalam organisasi tersebut dan sewaktu mewakili organisasi berhadapan dengan pihak “luar”. 

Dengan kata lain, budaya organisasi mencerminkan ‘cara karyawan melakukan seseuatu (membuat keputusan, melayani orang, dsb). Misalnya saja cara petugas penerima tamu, kondisi ruangan, pakaian seragam, cara menerima telepon, dan sebagainya.

Proses Terbentuknya Budaya Organisasi

Budaya bisa dilihat sebagai “fenomena” yang megelilingi kehidupan orang banyak dari hari ke hari, bisa direkayasa dan dibentuk. Jika budaya dikecilkan ruang lingkupnya ke tingkat organisasi atau bahkan ke kelompok yang lebih kecil, akan dapat terlihat bagaimana budaya terbentuk, ditanamkan, berkembang, dan akhirnya direkayasa, diatur dan diubah. 

Budaya diturunkan dari filsafat pendirinya. Selanjutnya budaya itu akan mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam mempekerjakan pegawai. Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak baik. Bagaimana bisa disosialisasikan akan tergantung pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai pegawai baru dengan nilai-nilai organisasi.

Karakteristik Budaya Organisasi

Robbins (2002) menyatakan ada 10 karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan, dengan budaya organisasi. Kesepuluh karakteristik budaya organisasi tersebut sebagai berikut:

1. Inisiatif Individual

Yang dimaksud inisiatif individual adalah tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi/ perusahaan.

2. Toleransi terhadap Tindakan Berisiko

Dalam budaya organisasi perlu ditekankan, sejauhmana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif, dan mengambil resiko. Suatu budaya organisasi dikatakan baik, apabila dapat memberikan toleransi kepada anggota para pegawai untuk dapat bertindak agresif dan inovatif untuk memajukan organisasi/perusahaan serta berani mengambil resiko terhadap apa yang dilakukannya.

3. Pengarahan

Pengarahan dimaksudkan sejauhmana suatu organisasi/perusahaan dapat menciptakan dengan jelas perusahaan dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi, dan tujuan organisasi. Kondisi dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi/perusahaan.

4. Integrasi

Interaksi dimaksudkan sejauhmana suatu organisasi/perusahaan dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan.

5. Dukungan Manajemen

Dukungan manajemen dimaksudkan sejauh mana para manajer dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan (karyawan) sangat membantu kelancaran kinerja suatu organisasi / perusahaan.

6. Kontrol

Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi atau perusahaan. Untuk itu diperlukan sejumlah peraturan dan tenaga pengawas (atasan langsung) yang dapat digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai/karyawan dalam suatu organisasi.

7. Identitas

Identitas dimaksudkan sejauhmana para anggota/karyawan suatu organisasi/ perusahaan dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai satu kesatuan dalam perusahaan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu atau keahlian profesional tertentu. Identitas diri sebagai satu kesatuan dalam perusahaan sangat membantu manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi/perusahaan.

8. Sistem Imbalan

Sistem Imbalan dimaksudkan sejauhmana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. Sistem imbalan yang didasarkan atas prestasi kerja pegawai dapat mendorong pegawai/karyawan suatu organisasi/perusahaan untuk bertindak dan berperilaku inovatif dan mencari prestasi kerja yang maksimal sesuai kemampuan dan keahlian yang dimilikinya. Sebaliknya sistem imbalan yang didasarkan atas senioritas dan pilih kasih, akan berakibat tenaga kerja yang punya kemampuan dan keahlian dapat berlaku pasif dan frustasi. Kondisi semacam ini dapat berakibat kinerja organisasi/perusahaan menjadi terhambat.

9. Toleransi terhadap Konflik

Sejauh mana para pegawai/karyawan didorong untuk mengemukakan konflik di mana kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat merupakan fenomena yang sering terjadi dalam suatu organisasi/perusahaan. Namun, perbedaan pendapat atau kritik yang terjadi bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan atau perubahan strategi untuk mencapai tujuan suatu organisasi/perusahaan.

10. Pola Komunikasi

Sejauh mana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kadang-kadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antarkaryawan itu sendiri. 

Kinerja Organisasi tercantum dalam lima pola sebagai berikut :

a. Kinerja komunikasi yang terampil dalam bentuk ritual yang meliputi personal ritual, social ritual dan organizational ritual. Ritual adalah suatu tindakan yang akan diikuti oleh kelompok secara familiar dan rutin. Personal ritual adalah tindakan rutin yang dilakukan secara bersama-sama, namun tidak berkaitan dengan pekerjaan. Organizational Ritual adalah kebiasaan yang diikuti oleh kelompok dalam organisasi secara teratur.

b. Kinerja komunikasi yang disebut passion.

Yang dimaksud passion adalah seseorang atau karyawan suatu organisasi/ perusahaan akan selalu mengulang-ulang cerita dramatis atau segala seseuatu yang selalu dikerjakannya atau dilakukan oleh orang lain diidolakan atau kondisi dan kesuksesan dari organisasinya.

c. Kinerja komunikasi yang dilakukan secara sosial.

Kinerja ini dimaksudkan untuk menebalkan sopan santun dan ditaatinya aturanaturan organisasi. Kinerja adalah bagian dari proses identitas kelompok; contoh: cerita, jargon-jargon, senda gurau atau canda, gerutu, komplain, argumentasi, ungkapan-ungkapan, konsultasi-konsultasi, serta kritik-kritik.

d. Kinerja komunikasi yang disebut organizational politics.

Kinerja komunikasi ini dimaksudkan sebagai perilaku yang diciptakan untuk menguatkan permohonan terhadap kekuasaan, wewenang atau pengaruh seperti penampilan kepemimpinan, pengelompokan-pengelompokan, dan tawar menawar (bargaining) kekuasaan.

e. Kinerja komunikasi yang disebut enkulturasi.

Kinerja komunikasi ini merupakan proses belajar budaya dari para anggota diantaranya melalui perjalanan karir, orientasi karyawan baru, dan lain-lain.


Tingkatan Budaya Organisasi

Menurut Daft (2002), terdapat tiga tingkatan budaya organisasi, yaitu :

1. Artifak (artifact), adalah budaya organisasi tingkat pertama, yaitu hal-hal yang dilihat, didengar dan dirasa ketika seseorang berhubungan dengan suatu kelompok baru. Artifak bersifat kasat mata (visible), misalnya lingkungan fisik organisasi, cara berprilaku, cara berpakaian, dan lain-lain. Karena antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya artifaknya berbeda-beda, maka anggota baru dalam suatu organisasi perlu belajar dan memberikan perhatian terhadap budaya organisasi tersebut.

2. Nilai (espoused values), merupakan alasan yang diberikan oleh sebuah organisasi untuk mendukung caranya melakukan seseuatu. Ini adalah budaya organisasi tingkat kedua yang mempunyai tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Pada tingkat ini, baik organisasi maupun anggota organisasi memerlukantuntunan strategi, tujuan dan filosofi dari pemimpin organisasi untuk bersikap dan bertindak. Oleh karena itu, untuk memahami espoused values ini, seringkali dilakukan wawancara dengan anggota kunci organisasi misalnya, atau menganalisa kandungan artifak seperti dokumen.

3. Asumsi dasar (basic assumption), merupakan bagian penting dari budaya organisasi. Asumsi ini merupakan reaksi yang dipelajari yang bermula dari nilainilai yang didukung karena merupakan keyakinan yang dianggap sudah ada oleh anggota suatu organisasi seperti kepercayaan, persepsi ataupun perasaan yang menjadi sumber nilai dan tindakan. Budaya organisasi tingkat ketiga ini menetapkan cara yang tepat untuk melakukan seseuatu dalam sebuah organisasi, yang seringkali dilakukan lewat asumsi yang tidak diucapkan.

Fungsi dan Manfaat Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki beberapa fungsi dan organisasi, yaitu :

(1) memberi batasan untuk mendefinisikan peran, sehingga memperhatikan perbedaan yang jelas antarorganisasi; (2) memberikan pengertian identitas terhadap anggota organisasi; (3) memudahkan munculnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar dibanding minat anggota organisasi secara perorangan; (4) menunjukkan stabilitas sistem sosial; (5) memberikan pengertian dan mekanisme pengendalian yang dapat dijadikan pedoman untuk membentuk sikap serta perilaku para anggota organisasi; dan (6) membantu para anggota organisasi mengatasi ketidakpastian, karena pada akhirnya budaya organisasi berperan untuk membentuk pola pikir dan perilaku anggota organisasi (Robbins, 2002). Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, baik organisasi maupun para anggotanya, manakala suatu organisasi menerapkan budaya organisasi, dalam pengertian memberi perhatian pada sistem nilai yang dianut organisasi. Manfaat tersebut adalah: (1) memberikan pedoman bagi tindakan pengambil keputusan; (2) mempertinggi komitmen organisasi; (3) menambah konsistensi perilaku para anggota organisasi; dan (4) mengurangi keraguan para anggota organisasi, karena budaya memberitahukan kepada mereka bagaimana sesuatu dilakukan dan apa yang dianggap penting. Memperhatikan fungsi dan manfaat budaya tersebut di atas, maka budaya dalam suatu organisasi sangat penting. Oleh karena itu budaya senantiasa dipelihara dan dikembangkan karena disadari budaya merupakan alat (tool) dalam setiap melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasi serta menjadi stimulasi untuk meningkatkan kinerja organisasi.


Sumber-sumber Budaya Organisasi

Isi dari suatu budaya organisasi terutama berasal dari tiga sumber (Robbins, 2002), yaitu:

a. Pendiri organisasi. Pendiri sering disebut memiliki kepribadian dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya. Pendiri mempunyai peranan kunci dalam menarik karyawan. Sikap dan nilai mereka siap diteruskan kepada karyawan baru. Akibatnya, pandangan mereka diterima oleh karyawan dalam organisasi, dan tetap dipertahankan sepanjang pendiri berada dalam organisasi tersebut, atau bahkan setelah pendirinya meninggalkan organisasi.

b. Pengalaman organisasi menghadapi lingkungan eksternal. Penghargaan organisasi terhadap tindakan tertentu dan kebijakannya mengarah pada pengembangan berbagai sikap dan nilai.

c. Karyawan, hubungan kerja. Karyawan membawa harapan, nilai, sikap mereka ke dalam organisasi. Hubungan kerja mencerminkan aktivitas utama organisasi yang membentuk sikap dan nilai. Jadi budaya organisasi sering dibentuk oleh pengaruh orang-orang yang mendirikan organisasi tersebut, oleh lingkungan eksternal di mana organisasi beroperasi, dan oleh karyawan serta hakikat dari organisasi tersebut. 

Variabel dimensi budaya organisasi yang dijadikan dasar pengukuran diturunkan dari 6 (enam) dimensi budaya organisasi yang dinyatakan Hofstede dalam Ariandi (2006) yang meliputi :

1. Profesionalisme, merupakan ukuran kecakapan atau keahlian yang dimiliki oleh pekerja dalam organisasi. Suatu jabatan yang ditempati oleh seorang pekerja yang profesional atau suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja yang profesional akan membuahkan hasil yang optimal. Dalam organisasi yang menjunjung tingginilai-nilai profesionalisme semua pekerja akan mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan sebagai bentuk dari tanggung jawab yang harus ditunaikan.

2. Kepemimpinan, yaitu tingkat keterlibatan atasan terhadap masalah-masalah di luar pekerjaan yang dialami oleh bawahan. Hubungan antarpribadi yang terbina baik akan memungkinkan terciptanya iklim kerja yang cerah. Adanya hubungan antarpribadi juga dapat mempengaruhi penilaian terhadap pekerja. Dalam hal melakukan promosi, atau mempertahankan orang-orang yang dinilai baik bagi suatu divisi juga melibatkan hubungan antarpribadi.

3. Kepercayaan kepada rekan sekerja, yaitu interaksi yang terbina antarsesama pekerja dalam organisasi. Sikap yang terbuka, ramah dalam pergaulan dan perilaku yang menunjukkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara sesama pekerja, karena merasa senasib dan seperjuangan akan menumbuhkan kepercayaan dan perilaku yang positif. Dengan adanya rasa percaya kepada rekan sekerja yang tertanam dengan baik, masalah-masalah pekerjaan ataupun masalah pribadi akan diatasi dengan perhatian dari rekan-rekan sekerja yang rela membantu memberikan saran.

4. Keteraturan, yaitu kondisi lingkungan kerja yang menunjukkan adanya aturanaturan atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh anggota organisasi. Tujuannya adalah untuk menjamin adanya keseragaman dalam pelaksanaan, memudahkan koordinasi dan pengawasan. Adanya aturan yang ditetapkan oleh organisasi harus berlaku sama untuk semua orang atau departemen dalam organisasi, sehingga mencerminkan adanya rasa keadilan.

5. Konflik, yaitu adanya pertentangan dan ketidakharmonisan dalam suatu organisasi yang menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja. Ini berpotensi pada penurunan motivasi kerja dan berdampak negatif terhadap perilaku pekerja. Kompetisi yang tidak sehat antar departemen dalam suatu organisasi, di mana orang-orang dalam organisasi mungkin saling merasa curiga yang menyebabkan terhambatnya komunikasi dan koordinasi serta sulitnya bergaul antarindividu.

6. Integrasi, yaitu iklim yang terbentuk dalam organisasi di mana pekerja merasa memiliki ikatan yang kuat dalam organisasi. Dalam kondisi seperti ini, pekerja akan menunjukkan loyalitas kepada organisasi. Pekerja akan merasa bangga karena menjadi bagian dari organisasi dan merasa aman dengan pekerjaannya karena merasa dihargai dan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Lingkungan kerja yang menyenangkan ini juga didukung oleh kerjasama yang terjalin baik diantara sesama pekerja atau sesama departemen.


Teori tentang Kinerja

Penilaian kinerja karyawan adalah masalah penting bagi seluruh perusahaan. Untuk mengetahui peningkatkan tentang diri karyawan dalam pelaksanaan pekerjaannya adalah melalui penilaian kinerja. Namun demikian, kinerja yang memuaskan tidak terjadi secara otomatis. Pelaksanaan penilaian kinerja harus mampu memotivasi karyawan sehingga menciptakan rasa puas dan ketenangan bekerja serta mampu menciptakan budaya kerja yang tinggi. 

Penilaian kinerja harus dilaksanakan secara terus menerus dan sistematis untuk memperoleh hasil penilaian kinerja yang objektif. Selain itu, diperlukan pelaksanaan penilaian kerja yang baik, sehingga program yang disusun dapat berpengaruh terhadap pegawai yang dinilai. Dengan perkataan lain, program tersebut harus dapat memotivasi peningkatan, pengembangan tanggung jawab dan meningkatkan keterikatan karyawan dalam organisasi.


Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, work performance atau job performance tetapi dalam bahasa Inggris sering disingkat menjadi performance saja. Dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan (Hasibuan, 2001). Kinerja organisasi atau kinerja perusahaan merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai dan mencerminkan keberhasilan manajer/pengusaha. Kinerja karyawan yang dinyatakan Mangkunegara (2002) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Oleh karena itu output baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai sumber daya manusia persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk: kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja, dan sikap kooperatif. Tampaknya dimensi lain dari kinerja mungkin tepat untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, tetapi yang didata ini adalah yang paling umum, yang mengidentifikasikan elemen-elemen yang paling penting suatu pekerjaan.

Pekerjaan hampir selalu memiliki lebih dari satu kriteria atau dimensi untuk dinilai, dan ini berarti bahwa si karyawan mungkin berkinerja lebih baik dalam satu kriteria dibandingkan kriteria lainnya. Beberapa kriteria mungkin memiliki nilai lebih penting daripada kriteria lainnya. Pembobotan adalah suatu cara untuk menunjukkan hal ini. Beberapa perkantoran atau Dinas lainnya merupakan bagian pekerjaan yang memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan dengan penelitian atau pengabdian. Pada saat mengukur kinerja, adalah penting menentukan kriteria yang relevan. Umumnya, kriteria itu relevan ketika difokuskan pada aspek yang paling penting dari pekerjaan si karyawan. Sebagai contoh, menilai seorang petugas pelayanan kepuasan konsumen dalam suatu perusahaan dari “penampilan”, tentu saja kurang relevan dibandingkan dengan jumlah telepon yang ditanganinya. Contoh ini menekankan bahwa kriteria pekerjaan yang terpenting harus diidentifikasikan dan dikaitkan dengan deskripsi pekerjaan.

Pekerjaan umumnya melibatkan beberapa tugas dan tanggung jawab. Jika penilaian kinerja mengabaikan beberapa tanggung jawab yang penting, maka penilaian menjadi tidak efisien. Sebagai contoh, jika kinerja seseorang pewawancara hanya dinilai dari jumlah pelamar yang dipekerjakan, dan bukannya kualitas pelamar, maka hal ini bisa jadi tidak efisien. Jika beberapa kriteria yang tidak relevan dimasukkan, maka kriteria ini bisa dikatakan terkontaminasi. 

Memang diakui bahwa banyak orang mampu tetapi tidak mau sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu, juga tetap tidak menghasilkan kinerja apa-apa. Kinerja adalah seseuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lain bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja. Kinerja merupakan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, maka kinerja merupakan output pelaksanaan tugas. 

Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Hasibuan (2001) menyatakan bahwa: “produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input)”. 

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Sedarmayanti (2001) antara lain: “1). Sikap mental (motivasi kerja, disiplin kerja, etika kerja); 2). Pendidikan; 3). Keterampilan; 4). Manajemen kepemimpinan; 5) Tingkat penghasilan; 6) Gaji dan kesehatan; 7) Jaminan sosial; 8). Iklim kerja; 9). Sarana prasarana; 10). Teknologi; 11). Kesempatan berprestasi”.

Penilaian Kinerja

Pihak-pihak yang dapat menilai kinerja adalah :

1. Atasan langsung.

2. Penilaian kinerja mayoritas dilaksakan oleh atasan langsung karena memang merekalah yang bertanggung jawab terhadap kinerja bawahannya. Sekalipun begitu, sejumlah organisasi mengakui mengalami kemunduran dalam hal ini, karena banyak juga pimpinan yang tidak memenuhi persyaratan untuk mengevaluasi. Sementara pimpinan yang lain merasa enggan saat diminta untuk menilai kinerja para pekerja mereka.

3. Rekan Kerja.

4. Evaluasi dari rekan kerja (peers) adalah salah satu yang dapat dijadikan sebagai sumber data penelitian yang paling dapat dipercaya, karena: pertama, evaluasi dari rekan kerja sangat erat hubungannya dengan kegiatan. Interaksi sehari-hari memberi mereka sebuah sudut pandang pemahaman yang menyeluruh terhadap kinerja pekerjaan seorang pekerja. Kedua, evaluasi dari rekan kerja sebagai penghitung hasil akan menghasilkan beberapa penilaian yang mandiri.

5. Pengevaluasian diri sendiri.

6. Karyawan yang mengevaluasi kinerjanya sendiri (self evaluation), konsisten dengan nilai-nilai seperti swakelola dan pemberdayaan. Evaluasi yang dilakukan sendiri memberi nilai yang tinggi bagi pekerja. Cara ini cenderung mengurangi sifat membela diri yang dilakukan karyawan saat proses penilaian. Dan mereka membuat wahana yang baik untuk merangsang diskusi kinerja pekerjaan antara pekerja dengan atasan mereka.

7. Bawahan langsung.

8. Penilaian kinerja dilakukan oleh bawahan langsung seorang pekerja.


Tujuan Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja memiliki sejumlah tujuan dalam organisasi (Robbins, 2002), yaitu :

1. Manajemen menggunakan penilaian untuk mengambil keputusan personalia secara umum, misalnya dalam hal promosi, transfer, ataupun pemberhentian.

2. Penilaian memberikan penjelasan tentang pelatihan dan pengembangan yang dibutuhkan. Dalam hal ini, penilaian menjelaskan keterampilan dan daya saing para pekerja belum cukup tetapi dapat diperbaiki jika suatu program yang memadai dikembangkan.

3. Penilaian kinerja dapat dijadikan sebagai kriteria untuk program seleksi dan pengembangan yang disahkan.

4. Memenuhi tujuan umpan balik yang ada terhadap para pekerja tentang bagaimana organisasi memandang kinerja mereka.

5. Sebagai dasar untuk mengalokasikan atau menentukan penghargaan.


Metode Penilaian Kinerja

Menurut Robbins, (2002) ada enam metode penilaian kinerja karyawan :

1. Esai Tertulis, metode ini menilai kinerja dengan menulis sebuah narasi yang menggambarkan kelebihan, kekurangan, prestasi waktu lampau, potensi dan saran-saran mengenai seorang karyawan untuk perbaikan. Metode ini tidak membutuhkan bentuk format yang rutin, tetapi hasilnya sering menggambarkan kemampuan penulisnya.

2. Keadaan Kritis, metode ini memfokuskan perhatian si penilai pada perilaku-perilaku yang merupakan kunci untuk membedakan antara sebuah pekerjaan efektif atau yang tidak efektif. Si penilai menulis anekdot yang menggambarkan apa-apa saja yang dilakukan para pekerja yang efektif atau tidak efektif. Yang menjadi kunci adalah perilaku yang sifatnya khusus. Sebuah daftar keadaan kritis memuat serangkaian contoh-contoh, di mana dengan daftar ini para pekerja dapat melihat perilaku-perilaku yang diharapkan dan perilaku-perilaku yang membutuhkan pengembangan.

3. Grafik Skala Penilaian, merupakan metode tertua dan terpopuler dalam penilaian kinerja. Dalam metode ini faktor-faktor kinerja seperti kualitas dan kuantitas kerja, tingkat pengetahuan, kerjasama, loyalitas, kehadiran, kejujuran dan inisiatif dicatat, dan selanjutnya penilai memeriksa daftar tersebut menilai setiap faktor sesuai dengan skala peningkatan berdasarkan lima poin. Metode ini sangat populer karena cara ini tidak menyediakan informasi yang mendalam sifatnya jika dibandingkan dengan metode esai atau metode keadaan kritis, dan membutuhkan sedikit waktu untuk pengembangan dan pengolahannya. Metode ini juga memberikan analisis yang kuantitatif dan analisis pertandingan.

4. Skala Peningkatan Perilaku, metode ini merupakan metode terbaru dan telah dianggap sebagai pemikiran yang hebat pada tahun-tahun terakhir ini, di mana metode ini mengkombinasikan antara metode keadaan kritis dan metode grafik skala penelitian. Penilai menilai para pekerja berdasarkan kepada hal-hal dalam rangkaian kesatuan, tetapi poin-poinnya merupakan contoh perilaku aktual di dalam pekerjaan, bukan sekedar deskripsi atau ciri – ciri umum.

5. Perbandingan Multipersonal, metode ini mengevaluasi kinerja individu dengan membandingkan individu satu dengan individu lainnya. cara ini bersifat relatif bukan sebagai alat pengukur yang absolut. 

Tiga pembanding yang sangat populer adalah peringkat urutan kelompok, peringkat individu, dan perbandingan berpasangan. Peringkat urutan kelompok menuntut si penilai untuk menempatkan pekerja ke dalam sebuah klasifikasi khusus, seperti yang teratas dari lima orang atau peringkat kedua dari lima orang. Pendekatan peringkat individu menggolongkan para pekerja mulai dari yang terbaik hingga yang terburuk. 

Jika seorang manajer diminta untuk menilai 30 orang bawahan, pendekatan ini menganggap perbedaan antara pekerja pertama dengan kedua sama dengan perbedaan antara pekerja kedua puluh satu dengan pekerja kedua puluh dua. Hasilnya jelas merupakan pengurutan tenaga kerja, mulai dari yang terbaik hingga yang paling jelek. 

Pendekatan perbandingan berpasangan membandingkan setiap pekerja dengan masing – masing pekerja lainnya dan menilai pekerja mana yang lebih baik atau lebih buruk satu dengan yang lainnya. Setelah semua perbandingan semua dibuat, setiap pekerja mendapatkan hasil ranking urutan yang dilakukan berdasarkan jumlah skor tertinggi yang mereka capai.


Manfaat Penilaian Kinerja

Mengenai manfaat penilaian kinerja, Handoko dalam Srimulyo (2005) menyatakan bahwa :

1. Perbaikan prestasi kerja atau kinerja. Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer, dan departemen personalia dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan mereka untuk meningkatkan prestasi.

2. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi. Evaluasi prestasi kerja membantu para pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.

3. Keputusan-keputusan penempatan. Promosi dan transfer biasanya didasarkan atas prestasi kerja atau kinerja masa lalu.

4. Perencanaan kebutuhan latihan dan pengembangan. Prestasi kerja atau kinerja yang jelek mungkin menunjukkan perlunya latihan. Demikian pula sebaliknya, kinerja yang baik mungkin mencerminkan potensi yang harus dikembangkan.

5. Perencanaan dan pengembangan karir. Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan-keputusan karir, yaitu tentang jalur karir tertentu yang harus diteliti.

6. Mendeteksi penyimpangan proses staffing. Prestasi kerja yang baik atau buruk adalah mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing departemen personalia.

7. Melihat ketidakakuratan informasi. Prestasi kerja yang jelek mungkin menunjukkan kesalahan-kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana sumberdaya manusia, atau komponen-komponen lain sistem informasi manajemen personalia. Menggantungkan pada informasi yang tidak akurat dapat menyebabkan keputusan-keputusan personalia tidak tepat.

8. Mendeteksi kesalahan-kesalahan desain pekerjaan. Prestasi kerja yang jelek mungkin merupakan tanda kesalahan dalam desain pekerjaan. Penilaian prestasi membantu mendiagnosa kesalahan-kesalahan tersebut.

9. Menjamin kesempatan kerja yang adil. Penilaian prestasi kerja yang akurat akan menjamin keputusan-keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.

10. Melihat tantangan-tantangan eksternal. Kadang-kadang prestasi seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan kerja, seperti keluarga, kesehatan, dan masalah-masalah pribadi lainnya.


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk: kuantitas output, kualitas output, jangka waktu output, kehadiran di tempat kerja, dan sikap kooperatif. Tampaknya dimensi lain dari kinerja mungkin tepat untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, tetapi yang didata ini adalah yang paling umum, yang mengidentifikasikan elemen-elemen yang paling penting suatu pekerjaan.

Pekerjaan hampir selalu memiliki lebih dari satu kriteria atau dimensi untuk dinilai, dan ini berarti bahwa si karyawan mungkin berkinerja lebih baik dalam satu kriteria dibandingkan kriteria lainnya. Beberapa kriteria mungkin memiliki nilai lebih penting daripada kriteria lainnya. Pembobotan adalah suatu cara untuk menunjukkan hal ini. Misalnya, di bagian Perkantoran atau Dinas lainnya merupakan bagian pekerjaan yang memiliki bobot yang lebih besar dibandingkan dengan penelitian atau pengabdian. 

Pada saat mengukur kinerja, adalah penting menentukan kriteria yang relevan. Umumnya, kriteria itu relevan ketika difokuskan pada aspek yang paling penting dari pekerjaan si karyawan. Sebagai contoh, menilai seorang petugas pelayanan kepuasan konsumen dalam suatu perusahaan dari “penampilan”, tentu saja kurang relevan dibandingkan dengan jumlah telepon yang ditanganinya. Contoh ini menekankan bahwa kriteria pekerjaan yang terpenting harus diidentifikasikan dan dikaitkan dengan deskripsi pekerjaan.

Pekerjaan umumnya melibatkan beberapa tugas dan tanggung jawab. Jika penilaian kinerja mengabaikan beberapa tanggung jawab yang penting, maka penilaian menjadi tidak efisien. Sebagai contoh, jika kinerja seorang pewawancara hanya dinilai dari jumlah pelamar yang dipekerjakan, dan bukannya kualitas pelamar, maka hal ini bisa jadi tidak efisien. Jika beberapa kriteria yang tidak relevan dimasukkan, maka kriteria bisa dikatakan sudah terkontaminasi. 

Memang diakui bahwa banyak orang mampu tidak mau sehingga tetap tidak menghasilkan kinerja. Demikian pula halnya banyak orang mau tetapi tidak mampu, juga tetap tidak menghasilkan kinerja apa-apa. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lain bahwa kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja. 

Menurut Gibson et al (1997), faktor-faktor individual yang mempengaruhi kinerja meliputi kemampuan fisik, kemampuan mental (intelegensi) dan keterampilan, faktor demografis (misal umur, jenis kelamin, ras, etnik, dan budaya) serta variabel-variabel psikologis (persepsi, atribusi, sikap, dan kepribadian). Variabel lingkungan pekerjaan (job design, peraturan dan kebijakan, kepemimpinan, sumber daya, penghargaan serta sanksi) dan non pekerjaan (keluarga, keadaan ekonomi serta hobi) juga berpengaruh pada perilaku bekerja yang akhirnya membentuk kinerja seseorang.

Kinerja merupakan kuantitas dan kualitas pekerjaan yang diselesaikan oleh individu, maka kinerja merupakan output pelaksanaan tugas. Kinerja mempunyai hubungan yang erat dengan masalah produktivitas, karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Hasibuan (2001) menyatakan bahwa: “produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input)”. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut Sedarmayanti (2001) antara lain : “1). Sikap mental (motivasi kerja, disiplin kerja, etika kerja); 2). Pendidikan; 3). Keterampilan; 4). Manajemen kepemimpinan; 5). Tingkat penghasilan; 6) Gaji dan kesehatan; 7). Jaminan sosial; 8). Iklim kerja; 9) Sarana prasarana; 10). Teknologi; 11). Kesempatan berprestasi”.


Disiplin Kerja

Disiplin cenderung diartikan sebagai hukuman dalam arti sempit, namun sebenarnya disiplin mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar hukuman. Menurut Moekijat (1994): ” Disiplin adalah kesanggupan menguasai diri yang diatur, disiplin berasal dari kata latin, yaitu disciplina, yang artinya latihan atau pendidikan, kesopanan dan kerohanian serta pengembangan tabit, disiplin menitikberatkan pada bantuan pegawai untuk mengembangkan sikap yang baik terhadap pekerjaan “.

Disiplin dalam arti yang positif seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut bahwa disiplin dapat diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berminat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian disiplin adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi.

Hasibuan (2001) memberikan definisi tentang disiplin sebagai berikut :” Kedisiplinan adalah kesadaran (sikap seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi dia akan memenuhi mengarsipkan semua tugasnya dengan baik, bukan atas paksaan dan kesediaan suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan baik tertulis maupun tidak) seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku “.

Selanjutnya Hasibuan juga menyatakan bahwa, disiplin yang tinggi dari para tenaga kerja akan memungkinkan tujuan perusahaan dapat tercapai secara efektif dan efisien. Untuk dapat menegakkan disiplin yang tinggi maka pimpinan perusahaan harus memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya antara lain :

1. Tujuan dan kemampuan.

2. Teladan pimpinan.

3. Balas jasa.

4. Keadilan.

5. Pengawasan melekat.

6. Sanksi hukuman.

7. Ketegasan.

8. Hubungan kemanusiaan.


Macam-macam Disiplin Kerja

Ada dua macam disiplin kerja yaitu disiplin diri (self-dicipline) dan disiplin kelompok.

1. Disiplin Diri

Disiplin diri menurut Lako (2004) merupakan disiplin yang dikembangkan atau dikontrol oleh diri sendiri. Hal ini merupakan manifestasi atau aktualisasi dari tanggung jawab pribadi, yang berarti mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada di luar dirinya. Melalui disiplin diri, karyawan-karyawan merasa bertanggung jawab dan dapat mengatur dirinya sendiri juga menghargai orang lain. Misalnya jika karyawan mengerjakan tugas dan wewenang tanpa pengawasan atasan, pada dasarnya karyawan telah sadar melaksanakan tanggung jawab yang telah dipikulnya. Hal ini berarti karyawan sanggup melaksanakan tugasnya. Dapat disimpulkan bahwa ada beberapa manfaat yang dapat dipetik jika karyawan mempunyai disiplin diri, yaitu :

1. Disiplin diri adalah disiplin yang diharapkan oleh organisasi. Jika harapan organisasi terpenuhi karyawan akan mendapat reward (penghargaan) dari organisasi.

2. Melalui disiplin diri merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain. Jika orang lain merasa dihargai, akan tumbuh peghargaan serupa dari orang lain pada dirinya. Hal ini semakin memperkukuh kepercayaan diri.

3. Penghargaan terhadap kemampuan diri. Hal ini didasarkan atas pandangan bahwa jika karyawan mampu melaksanakan tugas, pada dasarnya ia mampu mengaktualisasikan kemampuan dirinya.


2. Disiplin Kelompok

Kegiatan organisasi bukanlah kegiatan yang bersifat individual semata. Selain disiplin diri masih diperlukan disiplin kelompok. Hal ini didasarkan atas pandangan bahwa di dalam kelompok kerja. Nitisemito (1982) menyatakan bahwa, ” Kedisiplinan diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan dari organisasi baik yang tertulis maupun tidak “. Kedisiplinan dalam suatu organisasi dapat ditegakkan bilamana sebagian besar peraturan-peraturannya ditaati oleh sebagian besar para petugas yang ada dalam organisasi tersebut. Menegakkan suatu kedisiplinan penting bagi suatu organisasi, sebab dengan kedisiplinan itu dapat diharapkan sebagian besar dari peraturan-peraturan ditaati oleh sebagian besar para petugas yang ada dalam organisasi tersebut. Menegakkan suatu kedisiplinan penting bagi suatu organisasi, sebab dengan kedisiplinan itu dapat diharapkan sebagian besar dari peraturanperaturan ditaati oleh sebagian besar para petugas. Dengan adanya kedisiplinan tersebut, dapat diharapkan pekerjaan akan dilanjutkan seefektif dan seefisien mungkin. Dengan demikian tujuan yang telah ditetapkan dari organisasi akan tercapai.


Faktor-faktor Disiplin Kerja

Disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku. Pembentukan perilaku jika dilihat dari formula Lewin adalah interaksi antarfaktor kepribadian dan faktor lingkungan (situasional).

1. Faktor Kepribadian

Faktor yang paling penting dalam kepribadian seseorang adalah sistem nilai yang dianut. Sistem nilai dalam hal ini berkaitan langsung dengan disiplin. Nilai-nilai yang menjunjung disiplin yang diajarkan atau ditanamkan orang tua, guru, dan masyarakat akan digunakan sebagai kerangka acuan bagi penerapan disiplin di tempat kerja. Sistem nilai akan terlihat dari sikap seseorang. Sikap diharapkan akan tercermin dalam perilaku.

Perubahan sikap kedalam perilaku terdapat tiga tingkatan menurut Kelman (Brigham, 2004) :

1. Disiplin karena kepatuhan

Kepatuhan terhadap aturan-aturan yang didasarkan atas dasar perasaan takut. Disiplin kerja dalam tingkat ini dilakukan semata untuk mendapatkan reaksi positif dari pimpinan atau atasan yang memiliki wewenang. Sebaliknya, jika pengawas tidak ada di tempat disiplin kerja tidak tempat.

2. Disiplin karena identifikasi

Kepatuhan aturan yang didasarkan pada identifikasi adanya perasaan kekaguman atau penghargaan pada pimpinan. Pemimpin yang kharismatik adalah figur yang dihormati, dihargai, dan sebagai pusat identifikasi. Karyawan yang menunjukkan disiplin terhadap aturan-aturan organisasi bukan disebabkan karena menghormati aturan-aturan tersebut tetapi lebih disebabkan keseganan pada atasannya. Karyawan merasa tidak enak jika mentaati peraturan. Jika pusat identifikasi ini tidak ada maka disiplin kerja akan menurun, pelanggaran meningkat frekuensinya.

3. Disiplin karena internalisasi

Disiplin kerja dalam tingkat ini terjadi karena karyawan mempunyai sistem nilai pribadi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kedisiplinan. Dalam taraf ini, orang dikategorikan telah mempunyai disiplin diri.


Faktor Lingkungan

Disiplin kerja yang tinggi tidak muncul begitu saja tetapi merupakan suatu proses belajar terus menerus. Proses pembelajaran dapat efektif maka pemimpin yang merupakan agen pengubah perlu memperhatikan prinsip-prinsip konsisten, adil, bersikap positif, dan terbuka. Adil dalam hal ini adalah memperlakukan seluruh karyawan dengan tidak membeda-bedakan. Oleh karenanya, komunikasi terbuka adalah kuncinya. Dalam hal ini transparansi mengenai apa yang boleh dilakukan, termasuk di dalamnya sanksi dan hadiah apabila karyawan memerlukan konsultasi terutama bila aturan-aturan dirasakan tidak memuaskan karyawan. 

Nitisemito (1982) menyatakan bahwa, ” Kedisiplinan diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan sesuai dengan peraturan dari organisasi baik tertulis maupun tidak “. Kedisiplinan dalam suatu organisasi dapat ditegakkan bilamana sebagian besar peraturan-peraturannya ditaati oleh sebagai besar para petugas yang ada dalam organisasi tersebut. Menegakkan suatu kedisiplinan penting bagi suatu organisasi, sebab dengan kedisiplinan itu dapat diharapkan sebagian besar dari peraturan-peraturan ditaati oleh sebagian besar para petugas. Dengan adanya kedisiplinan tersebut, dapat diharapkan pekerjaan akan dilanjutkan seefektif dan seefisien mungkin. Dengan demikian tujuan yang telah ditetapkan dari organisasi akan tercapai.


Posting Komentar untuk "Anda Bos di Perusahaan? Coba Pahami Lingkungan Kerja Karyawan Anda"